MOJOKERTO, Suaraindonesia.co.id - Di antata candi-candi terkenal seperti Candi Borobudur dan Prambanan, terdapat sebuah candi yang mungkin belum banyak diketahui banyak orang, yaitu Candi Brahu di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Candi Brahu menjadi saksi sejarah dari masa kejayaan Kerajaan Majapahit yang konon Candi Brahu dikabarkan lebih tua dari Kerajaan Majapahit itu sendiri.
Tidak seperti candi-candi lain yang dikenal di Trowulan, Candi Brahu memiliki keunikan tersendiri. Disebutkan oleh beberapa kalangan bahwa candi ini lebih tua daripada candi-candi lainnya yang berada di sekitar Trowulan.
Asal usul nama Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu dalam Prasasti Alasantan, sebuah prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Brahu. Dengan demikian, kata Brahu dapat diartikan sebagai bangunan suci.
Dalam prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan sekitar 45 meter di sisi barat Candi Brahu mengungkapkan bahwa nama asli tempat itu sebenarnya adalah Warahu yang berarti tempat suci.
Candi ini digunakan sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja pada masa Mataram Kuno. Namun, versi lain membantah hal ini, menyatakan bahwa jenazah-jenazah tersebut sebenarnya dibakar di tempat lain dan abunya dibawa ke Candi Brahu untuk disucikan sebelum akhirnya dilarung.
Setelah dilakukan penelitian ulang, tidak ditemukan bukti otentik bahwa Candi Brahu pernah digunakan sebagai tempat pembakaran jenazah.
Cerita yang menguatkan hal ini justru berasal dari asal nama tempat tersebut, dengan kata Bra yang berarti Brawijaya atau raja dan Hu yang berarti abu. Sehingga, Candi Brahu dianggap memiliki arti "abu raja".
Dari sinilah kemudian terciptalah nama Brahu. Candi Brahu sendiri merupakan candi Buddha, hal ini didukung oleh penemuan arca-arca Buddha saat pertama kali digali.
Secara arsitektur, Candi Brahu memiliki perbedaan dengan candi-candi lain yang biasa ditemui. Candi ini terbuat dari batu bata, tidak dilengkapi dengan relief seperti Candi Borobudur, karena bahan dasarnya yang sulit untuk dibuat relief.
Salah satu keunikan lainnya adalah struktur bangunannya. Candi ini menghadap ke barat, berdenah dasar persegi panjang dengan ukuran 18 x 22,5 meter dan tingginya mencapai sekitar 20 meter.
Candi Brahu tidak berbentuk persegi tegas melainkan bersudut banyak, tumpul, dan berlekuk. Di tengah bangunan candi terdapat lekukan yang mirip dengan pinggang.
Lekukan ini diperkuat dengan pola susunan batu bata pada dinding depan candi. Atap candi juga memiliki bentuk berbeda, tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.
Kaki candi dibangun dengan dua tingkatan. Kaki bagian bawah setinggi sekitar 2 meter, dilengkapi dengan tangga di sisi barat yang menuju selasar selebar 1 meter mengelilingi tubuh candi. Dari selasar pertama, terdapat tangga setinggi sekitar 2 meter menuju selasar kedua. Di atas selasar kedua, tubuh candi berdiri tegak.
Sayangnya, tangga yang dulunya menghubungkan selasar kedua dengan pintu di tubuh candi telah hilang, sehingga sulit bagi pengunjung untuk masuk ke dalam ruangan di dalam candi. Konon, ruangan di dalam candi ini cukup luas dan mampu menampung sekitar 30 orang.
Candi Brahu mulai dipugar pada tahun 1990 dan selesai pada tahun 1995. Menurut masyarakat sekitar, dulunya terdapat beberapa candi lain seperti Candi Muteran, Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong, yang berdekatan dengan Candi Brahu. Namun, sayangnya semua candi itu sekarang sudah tidak terlihat.
Terlepas dari usia yang sebenarnya dan perdebatan mengenai fungsi Candi Brahu, candi ini tetap menjadi keajaiban yang menarik untuk dikunjungi. Sebagai candi Buddha yang berdiri sebelum Kerajaan Majapahit, Candi Brahu menghadirkan pesona tersendiri dengan gaya bangunan dan keunikan arsitektur yang dimilikinya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Mohamad Alawi |
Editor | : Lutfi Hidayat |
Komentar & Reaksi