MOJOKERTO, Suaraindonesia.co.id - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Mojokerto mendapat sorotan tajam terkait kasus pembunuhan siswi SMP di Kecamatan Kemlagi.
Kasus pembunuhan yang menimpa seorang siswi SMP di Kota Mojokerto, memicu polemik setelah munculnya tuntutan dan vonis hukuman yang dinilai kurang relevan saat masa sidang vonis yang digelar pada Jumat (14/07/2023).
Ketua LPBH NU Kota Mojokerto, Ansorul Huda, mengaku kecewa terhadap tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan.
Menurutnya, tuntutan JPU seharusnya mencantumkan Pasal 340 dan Pasal 338 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dalam proses persidangan dan pembacaan dakwaan.
Namun, pasal-pasal tersebut diduga hilang dari tuntutan yang menimbulkan polemik dalam kasus tersebut.
"Seharusnya JPU mencantumkan pasal 340 dan 338 dalam dakwaannya, Ini kan aneh," ungkapnya, Minggu (16/07/2023).
Kasus pembunuhan tersebut menjerat seorang remaja berinisial AB (15) yang didakwa dengan 4 pasal sekaligus, termasuk Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 76C Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Namun, Pasal 340 dan Pasal 338 KUHP yang seharusnya relevan dengan pembunuhan berencana diduga tidak disertakan karena pelaku masih anak-anak.
"Kalaupun dalam bukti persidangan pasal 340 dan 338 tidak terbukti, gak masalah. Namun JPU memakai dalih kalau pelaku anak dan menghilangkan 340 dan 338 ini yang jadi pertanyaan, " terang Ansorul Huda.
JPU Kejari Kota Mojokerto, Ismiranda Dwi Putri, menyebut tidak dimasukkannya Pasal 340 dan 338 dalam tuntutan, karena pelaku merupakan anak-anak. Hukumannya setengah dari yang diberlakukan untuk orang dewasa. Oleh karena itu, JPU hanya menuntut AB dengan Pasal 80 ayat (3) junto Pasal 76C UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Dakwaan kami bersifat alternatif. Dari 4 pasal yang terbukti pasal yang mana, tergantung fakta-fakta di persidangan. Karena ini pelaku anak, ancaman maksimalnya setengah dari orang dewasa. Jadi kami tutut maksimal, yaitu 7 tahun 6 bulan penjara," kata Ismiranda.
Ancaman hukuman maksimal yang dihadapi AB adalah 15 tahun penjara, namun karena statusnya sebagai anak, pihak JPU mengacu pada UU RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menuntut hukuman maksimal 7 tahun 6 bulan penjara, serta kewajiban menjalani pelatihan kerja selama 6 bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas 1 Blitar, sebagai pengganti denda Rp. 1 miliar yang tidak mungkin sanggup dibayar oleh terdakwa.
Keputusan hakim tunggal, Made Cintia Buana, memvonis AB bersalah atas dakwaan Pasal 80 ayat (3) junto Pasal 76C UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
AB dijatuhi hukuman 7 tahun 4 bulan penjara dan wajib menjalani pelatihan kerja di LPKA Blitar selama 3 bulan.
Vonis ini menimbulkan protes dari pihak keluarga dan kerabat korban di ruang sidang. Emosi meluap di dalam ruangan, karena pihak keluarga korban merasa kecewa dengan vonis tersebut dan mengancam untuk membuat keputusan hukum sendiri.
"Terhadap putusan ini, pada intinya terdakwa saya nyatakan bersalah. Nanti yang menjelaskan lebih detail ke Juru Bicara PN Mojokerto," terang Made.
Jubir Pengadilan Negeri Mojokerto, Fransiskus Wilfrirdus Mamo memberikan penjelasan kepada keluarga korban.
"Terkait vonis ini masih ada upaya hukum banding. Jadi, nanti melalui jaksa korban bisa melakukan upaya hukum banding," jelas Fransiskus.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Mohamad Alawi |
Editor | : Lutfi Hidayat |
Komentar & Reaksi